Pagi yang cerah. Secerah wajah Adnan yang melangkahkan kakinya dengan tenang dan santai. Tidaklah aneh melihat cowok itu setiap hari menaiki sepedanya menuju sekolah, yang merupakan kesenangannya. Adnan Dwi Putra, demikianlah nama cowok tampan itu. Seorang cowok yang tampan itu. Adnan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai orang tua lengkap dan kaya raya. Wajahnya yang tampan sangatlah sebanding dengan tingkah lakunya yang berwibawa, penuh kasih sayang serta karunia otak yang cukup cemerlang. Tapi secara keseluruhan dia menarik, dengan kadar daya tarik yang cukup besar.
Adnan adalah warga kelas XI IPA 3, dia terpilih sebagai ketua kelas. Pagi itu, dia melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Didepan kelasnya di disambut oleh sahabatnya Rafiqa, seorang gadis tomboy tetapi cantik, anggun.
“Selamat pagi cowok! Ada seorang cewek mengirimkan salamnya untuk tuan”
“Selamat pagi juga, nona manis! Terima kasih atas kiriman salam tersebut. Dan untuk selanjutnya, saya harap nona tidak akan pernah lagi menjadi utusannya, itu kalau nona masih mau menjadi warga yang baik disini. Mengerti nona?! Adnan berkata dengan suara yang sedikit tinggi.
“Maafkan saya tuan. Saya kapok, karena bisa-bisa saya tidak boleh lagi melihat PR anda tuan” kata Fiqa dengan lagak yang meyakinkan.
“Ah sudahlah, kau memang pintar bicara dan merayu. Nih! Adnan berkata sambil berjalan menuju bangkunya.
“Kita ke kantin yuk!maku sangat lapar nich!”
“Ayo, aku juga lapar. Tapi setelah membereskan buku-bukuku dulu” kata Adnan sambil membereskan buku-bukunya
“Hei, cepat sedikit donk, Adnan! Nanti keburu kantin ramai. Kita bisa-bisa tidak mendapatkan tempat duduk” kata Fiqa tak sabar.
“Baik nona tomboy!”
Sambil berjalan, Adnan bertanya pada Fiqa. “Apakah kau melihat Raisa?”
“Reisa? Aku tidak melihatnya! Kenapa kau menanyakannya? Tumben?”
Sambil melahap bakso yang ada didepan matanya, Adnan berkata.
“Aku heran, mengapa Reisa sekarang berubah menjadi pendiam tidak lagi seperti Reisa yang dulu yang selalu ceria”
“Hem, ya aku juga merasa heran. Akhir-akhir ini aku melihatnya terus melamun”
“Aku akan mencoba mendekatinya. Mungkin ada yang bisa aku bantu. Sebagai ketua kelas kewajibanku membantu warga kelasku.”
“Iya aku setuju”
&&&
Dua hari kemudian, saat Adnan duduk diteras rumahnya sedang membaca buku, tiba-tiba ada yang menyapanya.
“Assalamualaikum, Nan”
“Waalaikumsalam” sambil berdiri dan mempersilahkan tamunya untuk duduk. “Tumben kau main kesini! Apa aada yang bisa aku bantu?”
“Aku ingin mengembalikan buku Biologi yang kemarin aku pinjam ke kamu, dan sekarang aku ingin meminjam buku Kimia dan Matematikamu, boleh?”
“Tentu, sebentar aku ambilkan. Sambil masuk kedalam rumahnya untuk mengambil buku yang akan dipinjam oleh Reisa.
“Wah kog repot-repot, Nan! Aku cuman sebentar kok” kata Reisa
“Aku ingin berbicara denganmu! Adnan meletakkan minumannya lalu duduk
“Kau ingin bicara denganku? Tentang apa?” Heran Reisa bertanya
“Sebelumnya aku minta maaf, mungkin nanti petanyaanku ada yang menyinggung perasaanmu”
Reisa tak bereaksi. Hanya saja pandangannya tertuju tajam pada Adnan. Dengan pancaran rasa heran dan ingin tahu.
“Akhir-akhir ini kulihat ku lihat kau banyak berubah, kau jadi pendiam, pelamun dan tidak mau lagi bercanda seperti dulu. Mengapa? Adnan memandang Reisa.
“Entahlah, Nan! Banyak yang aku pikirkandan mungkin aku akan berhenti sekolah”
“Reisa mengapa kau berpikiran seperti itu?”
“Mamaku yang begitu lembut, begitu baik, penuh kasih sayang dan sangat mencintai papa, dittinggal begitu saja setelah papa mengenal wanita lain yang lebih muda dan lebih cantik dari mama” Reisa berkata dengan parau dan sendu
“Reisa, aku tak ingin kau melanjutkan ceritamu, kalau hal itu membuat sakit dan sedih hatimu” lembut dan penuh penyesalan Adnan berkata sambil menyentuh tangan Reisa
“tidak apa-apa, mungkin dengan ini kau bisa menolongku. Memang rumah besar dan segala isinya di tempati kami. Tapi apalah artinya kalau setiap kali mama menangis sedih bila melihat benda-benda yang dapat mengingatkan pada papa. Kami tak tahan melihat mama begitu. Mama yang dulu penyabar sekarang menjadi cepat marah. Selalu menangis dan slalu merasa dirinya bersalah. Mama tak mau lagi berhubungan dengan orang lain. Bagi mama tak ada artinya semua itu. Rasanya tak ada lagi gairah hidup pada mama. Papa adalah segala-galanya” Reisa menangis meskipun tanpa suara.
Kasihan kau Rei! Adnan berkata dalam hatinya. Alangkah beratnya penderitaanmu. Kau yang biasanya periang dan tegar, kini menitihkan air mata Adnan memandang dan sambil mengusap mata Reisa.
“Maafkan aku Nan, aku tak bisa mengendalikan diriku. Mungkin kau mempunyai pikiran aku cengeng”
“Tidak, Reisa! Kamu pantas untuk nangis, tak ada larangan untuk tidak menangis”
“Kami menjual tumah kami untuk memenuhi kebutuhan kami. Sekarang kami masih bisa makan, tapi entah selanjutnya. Apakah aku akan membiarkan kak Dinar meninggalkan kuliahnya, lalu bekerja sambil menghidupi kami”
“Reisa memang seharusnya kamu membantu keluargamu. Oh ya ada kenalan ayahku yang kebetulan juga rumahnya diujung gang ini. Membutuhkan beberapa tenaga untuk bekerja mengantarkan majalah-majalah kepada pelanggan, kalau perlu aku bisa mengantarmu kesana”
“Terima kasih Adnan, kamu sangat baik padaku” sambil menjabat tangan Adnan.
“Sudahlah Rei, memang kewajiban kita untuk saling menolong”
“Baiklah Adnan, aku pamit pulang dulu, maaf telah menyita waktu malam minggu kamu, tentunya kamu akan pergi kan?”
“Bagiku malam minggu sama seperti malam yang biasanya Rei, tidak ada acara yang istimewa. Apalagi dengan seseorang seperti yang kamu maksud! Ya kalau ada pasti aku akan mengajakmu Rei!”
“Hah? Aku? Apa kamu gag salah Nan?” terkejut Reisa mendengar perkataan suka Adnan kepadanya
“Maaf Rei mungkin ini terlalu mendadak tapi memang itu kenyataannya”
“Owg gitu, ya sudah aku pamit dulu, assalamualaikum” kata Reisa yang langsung pulang dan mengadu ke kakaknya
“Waalaikumsalam” balas Adnan yang nampak tersenyum
&&&
Beberapa hari kemudian, saat majalah sekolah keluar ada sebuah puisi indah yang terpampang di majalah itu :
“ Sebuah Pengharapan ”
Kulihat matamu yang indah
Kulihat senyummu yang menawan
Kulihat juga tingkahmu yang lincah
Tatapanmu tak dapat kulupa
Senyummu membuatku terlena
Tingkahmu membuatku salah tingkah
Kau......indah
Kau......menawan
Kau......lincah
Kau-lah segalanya....
Dan dirimulah
Aku menanti suatu harapan
Harapan cinta yang tulus
Persembahan untuk DIA
“Aku masih menunggu jawabanmu”
Adnan Dwi Putra
“Adnan tunggu” terdengar suara perempuan yang memanggil nama Adnan
Adnan yang sedang berjalan untuk pulang bersama sahabatnya yang tomboy itu terhenti oleh panggilan itu.
“Ada apa?” tanya Adnan
“Boleh aku memberimu jawaban sekarang? Dan Fiqa menjadi saksinya”
“Jawaban apa nich? Aku gak ngerti dengan kalian berdua” Fiqa penasaran
“Fiq, kamu sudah baca puisi yang aku tuliskan di majalah sekolah?”
“Iya! Hubungannya? Aku benar-benar tidak mengerti nich!”
“Ok, aku akan mengulanginya agar semua mengerti maksud puisi itu termasuk kamu Rafiqa sahabat terbaikku”
Mereka berdua hanya mengannggukkan kepala mereka.
“Ayunda Reisa Cahya! Maukah kamu menjadi teman cewek spesialku? Aku menunggu jawaban yang dulu?”
“Adnan Dwi Putra, memang telah lama aku mempunyai perasaan seperti ini kepadamu, perasaan yang sama, hanya saja aku tak bisa mengatakannya saat itu”
“Jadi??” tanya Fiqa memotong adegan itu
“Fiqa!” teriak mereka berdua
“Maaf”
“Iya aku menerimamu sebagai cinta pertamaku”
Mereka jadian didepan mata Fiqa, Fiqa-pun merasa senang, akhirnya sahabat yang selama ini menutup dirinya dari bayangan cewek masa lalunya akhirnya terbuka oleh Ayunda Reisa Cahya seorang yang anggun, cantik dan pintar.
SELESAI